Sebuah Catatan Diri
Oleh Ismail Sunni Muhammad
Aku tak tahu harus mengawali dengan apa catatan ini, lazimnya muslim mengucapkan basmalah, hamdalah sebagai pengejewantahan rasa syukur mereka pada sang Ilahi Rabbi. Yang terpenting, sekalipun pernyataan di atas seakan memperlihatkan aku bukanlah bagian dari mereka, aku tak bisa mengingkari bahwa itulah yang seharusnya aku lakukan. Aku tak mau dicap dengan label hamba yang kufur nikmat tentunya.
Aku begitu termotivasi untuk menulis, menulis dan menulis. Ya, hanya satu kata, menulis bukan kata lainnya, bukan ungkapan lainnya,tak lebih dan tak kurang. Kekuatan itu membuncah dalam lubuk hatiku, menyeluruh memenuhi rongga nafasku, menyesakkan pikiran dalam otakku untuk segera mencurahkan, menyiram apa yang hadir samar dalam set of my mind. Aku pernah dengar bahwa membaca, tak kalah peranannya dengan menulis, bisa dikatakan saudara dekat yang takkan terpisahkan atau sulit terpisahkan. Anda pasti bisa mendiferensikan kata ‘takkan’ dan ‘sulit’ di atas bukan.
Menyanggah hal tersebut, menulis pada hakikatnya tidaklah butuh pada membaca, bisa dikatakan sumber ide, wacana baru, hal memikat tidaklah hanya bisa didapatkan dari membaca. Berpikir, refleksi diri dari apa yang telah terlakukan, sebenarnya telah cukup untuk mengasah kemampuan menulis dalam diri kita, terlepas dari adanya bakat atau tidak. Mengapa? Mengutip statement Izzatul Jannah dalam ‘AnNida’, dengan memiliki minat, kita telah mendapatkan separuh dari bakat.
Seraya meresapi hikmah, memperhatikan gerak roda kehidupan yang terus bergulir atas bawah, maju ke depan, mundur ke belakang, yang selalu memberikan pengalaman tak terduga, pelajaran yang tak tertuliskan dalam buku. Hei, aku tidak bisa menerima hal itu begitu saja, anda tampaknya terlalu sempit memahami definisi membaca dan itu begitu jelas tervisualisasikan dalam konteks singkat di atas. Membaca tak hanya, mengarahkan dan menyipitkan mata, pada bait demi bait, garis kata demi kata, himpunan kalimat dalam rumpun paragraph yang menyita, memperkosa halaman putih suci dari diri sebuah buku. Maka, bagaimana dengan membaca nasib, membaca waktu, membaca pikiran, membaca body language, membaca cuaca, lingkungan dan banyak lagi membaca membaca yang takkan cukup untuk dituangkan dalam “artikel tak jelas ini”. Apakah mereka tidak dipahami sebagai obyek lain dari membaca? mengapa?jawab saja sendiri. Tanyakan hal itu pada hatimu. Secara otomatis, opini ini menyapu bersih keterikatan membaca pada salah satu pintu dunia. BUKU.
Aku ingin mencipratkan atau bahkan membuang semua yang ada dalam Mindset atau “Sang Darah penentu”, manis asin, asem pahit, hitam putih warna hidupku. Karena bagiku, setiap detik yang berlalu, menit yang berjalan, detak jantung yang berdegup, jam, hari, bulan yang berjalan lambat namun riil dan pasti adalah kepingan hidup yang tak dapat tergantikan dengan apapun, tak tergadaikan dengan harta. Berharga dan sangat mengharukan mengingat apa yang telah terjadi, sesuatu yang bisa membuat kita tertawa, menangis, sadar, melamun, tertawa, tersenyum, sedih dan menyesal, marah, kangen, cinta, dan banyak lagi.
Maka, terinspirasi suatu peribahasa, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Perlu sesuatu untuk menunjukkan eksistensi diri kita, sebuah admitasi bahwa kita ada, kita hidup di tengah masyarakat, kita bernafas dan pernah tinggal di dunia ini. Salah satunya adalah dengan membuat perubahan, perubahan yang mengoyak sejarah, entah kontroversial atau tidak, diterima dengan senang hati atau bahkan ditolak mentah-mentah, semuanya akan terasa massif bila kita mampu memberdayakan apapun yang kita miliki atau ada pada diri kita. Menulislah, karena tulisan adalah bukti kau pernah ada,yang akan abadi dalam larutan gejolak dunia yang selalu berganti dengan hal yang baru. Karena, adalah sebuah keniscayaan mutlak, bahwa perubahan akan selalu ada, hanya masalah waktu, karena kita takkan pernah dapat menghentikan mengalirnya waktu. Hanya menukil dan merubah sedikit, menyambung lidah penyair muda, Chairil Anwar
.
Tak usah memperdulikan apa kata orang mengenai isi “kata-kata” nurani nafsu kita, tak juga berangan akankah ada orang yang berkenan membaca seraya memberikan testimoni atau apresiasi atau tidak. Seorang teman, Bagus Ibrahim yang aku kenal sebagai Lay Outer yang mulai mengembangkan sayapnya, selalu berucap dalam “buah tangannya” berkaryalah maka kamu ada. Ha ..ha ..ha .. terdengar menggelikan namun berisi spirit positif yang dapat menggerakkan hati seseorang yang putus asa, patah arang atau lebih tepatnya, hati seseorang yang berada dalam kebimbangan, dalam pencarian jati diri.
Berkata terlalu lebar atau terlalu luas dari yang dibayangkan, taklah mengapa, kalau dibutuhkan mengapa tidak. Bahkan, seandainya ucapan kita dalam hitungan sehari, ah.. tidak setengah hari dengan siapa saja, kita catat dalam sebuah buku tanpa terkecuali, setengah buku mungkin akan terisi.
Demikianlah, tulisan iftitah dari “hari-hati” puzzle seorang aku. Pada menulis dan sedikit perbandingannya dengan membaca. Semoga ulasan ini dapat menjadi langkah pertama keistiqomahanku pada menulis. Langkah menuju semakin berkembangnya pemikiran, dewasanya kepribadian seorang khalifah, bernama Muh. Ismail Sunni.
Malang, 03 Juli 2010. 09.30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar