Sebuah Puisi
Ku tatap rembulan yang mengintip
malu,
Adakah mimpi indah menyelimuti tiap
makhluk dalam nyenyak tidurnya
Bila aku kuasa,
Menitah dalam doa,
Itu adalah,
Biarlah ku tutup dunia dengan
senyummu merekah.
Suatu hari kelak kau kan dewasa,
Suatu hari kelak kau kan jelajahi
dunia,
Membumikan angkasa di sela sela
jarimu,
Yang terkadang membuat hari mu
begitu lemah,
Bahkan memaksamu mengaku, tak ada
jiwa berkobar merah.
Hingga tampak mutiara dari tiap
sesak yang lelah.
Itu dusta yang gila,
Itu durka yang nista,
Kau tahu kau bukanlah ia yang
tercipta sempurna,
Sadarlah,
Kau sendiri di balik bayang siang
selasa,
Kau sepi dalam hati hitam bernodakan
darah,
Kau linglung, bingung, dengan
dengung dunia yang memasung.
Kemarilah,
Tinggalkan kesan menakutkan dari
memori hampa,
Kala kau dalam kegelapan kelam,
Kala kau tertegun dalam lamun,
Adakah mentari tenggelam,
runtuh bersama puing gelisah yang
hambar dan masam.
Kala kau bertanya,
Adakah asa hanya sebatas kata,
Ataukah ia aksara yang menyulam
buta,
Kendati perih dan letih,
Tak bermaksud berdebat saat
berpendapat,
Bukan pula mendikte dengan ideologi
sepele,
Tetaplah percaya,
Kau belum melihat sisi lain kota,
Kau belum pula berusaha sepenuh
daya,
Belum melihat akhir haru dengan
tangis bebas bahagia,
Belum merasakan safir sedih di
tengah dada ringkih tanpa manifesto nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar