Sebuah Puisi
Beri aku kasih,
Layaknya ia, yang
menutup mata, memberimu permata,
Karena ku muram,
Terbangun seorang
diri dalam sunyi mencekam,
Percikan luka yang
menganga,
Terlanjur membuih
dalam gerimis air mata.
Seakan memberitahuku,
Saatnya tiba
merelakanmu mendua.
Menerawang langit-langit
putih kamar yang pucat,
Dengan titik sudut
kosong yang beradu sendu,
Kubersiul pelan,
Sekedar memecah sepi
yang menelan,
Seakan menyadarkanku,
Saatnya tiba
memanggilmu walau kau tak dating jua,
Hingga darah mengalir
mencuat menjadi alcohol,
Mabuk dalam kasih
yang terputus gelisah,
Sadarkah?
Ku hanya ingin
memelukmu dinda.
Atau lepaskanku
terbakar menjadi debu durjana,
Ku mencarimu yang
terus berlari,
bersembunyi,
mendekat dan menjauhi,
Bersabar dalam getar
cemas,
Menangis dalam rinai
perih,
Tersenyum dalam
terik mentari,
Hingga ku mampu
memutar balik waktu,
Ketika ku bisa
merasakan detak dadamu,
Ketika ku sanggup
menghembus nafas hangatmu,
Ketika ku masih bisa
erat memelukmu,
Dalam dekap rindu,
sekalipun semu.
Beri aku kasih,
Yang berbeda dengan
sebelumnya,
Dalam detik terakhir,
Ku tak mengerti,
mengapa aku mengharapkan lebih,
Sekalipun hanya
sementara,
Dalam menit satu
hingga dua,
Ku masih merasa sama
dan samar,
Antara cinta hampa,
buas dan liar,
Dengan kasih yang
terpaksa, menjerit, lirih, perih.
Mungkin benar kata bintang,
Ku harus relakanmu
pergi menghilang.
Selasa, 24 September
2013, 08.36.
Whether you love or lie. You kiss and bye. You say
but blind. You listen yet cry. You run and come close. I’m still here. Waiting nothing
but you, sleep, smile, sit, talk, and vanish in lonely.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar