Sebuah Puisi
Begitu mengakar,
Tak lekang busuk,
Tak patah sirna,
Menggenggam erat,
Merapuhkan daya,
Meretaskan asa.
Begitu terluka dan
bahagia,
Menyatu biru
harmonis,
Menusuk menyakiti
dada senja,
Tak peduli saat dan
tempat,
Tak acuh siapa dan
bagaimana,
Meresap semua kuasa.
Aksara seakan buta,
Mata layaknya mulut
yang berkata,
Terlalu murni untuk
jujur,
Terlalu jahat untuk
ingkar,
Bicara menjelma
perhatian,
Bahasa tubuh mengukir
harapan,
Tuk terus dapat
pendam perasaan.
Dengan bayang takut lekat menghantui,
Atau senyum manis
picik menggoda prinsip,
Hanya melelahkan,
Membodohi,
Menguras jerih hidup
dalam hari,
Memisahkan logis,
Meruntuhkan komitmen,
Melebur titik
prioritas,
Mengguncang tali
merah dengan Sang Maha,
Kian menyiksa,
mencerca, tanpa tahu akhir jua.
Hati tertegun,
memandang tajam cinta,
Harus lekas
membuangmu dari arus darah,
Melenyapkan dan
membakarnya tanpa sisa,
Cinta meronta derita,
Aku alami, nurani,
suci,
Kau kan berdosa, menyesal,
kecewa,
Kecuali jika hanya
sementara,
Bilamana hati
mengalihkan gemuruh dadanya,
Mengukuhkan diri,
menjunjung masa,
Dalam azam dan doa.
Selasa, 24 September
2013, 5.32.
Menunggu matahari.
Membuang bulan. Terkikis awan, dalam senyum gemeretak angin melawan.
First love never
dies, but true love can bury it alive.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar