Sebuah Puisi
Detak
detik jam hijau menggantung di pualam kamarku,
Hanya
ia yang menemani bibir dinding yang mulai beku dan kering,
Awan berselimut
abu-abu,
Membasahkan dunia
dengan butir tangisnya,
Kubuka jendela,
dengan mata setengah terbuka,
Malam ini begitu
pekat,
Saat fajar pukul 02
pagi mulai mendekat,
Aku benci dengan kau,
hujan,
Lebih dari sekedar
rasa buruk,
Lebih dari sekedar
rasa terpuruk,
Tapi entah mengapa,
Hari ini aku
mencintainya,
Seperti angin yang
bersua pelangi,
Seperti dedaunan yang
mencium bumi,
Aku pikir hujan
terlalu basah, lembab dengan rasa naifnya yang dingin,
Maka aku berlari,
Membaur dengan mereka
yang tak ingin sedih,
Menjauhi,
Membawa pesan, bahwa
cinta seakan menyakiti,
Namun itu dulu,
Saat aku tidak
mengerti ada sebuah sesuatu dalam tangis hujan yang sendu.
Aku berjalan tanpa
perlu menghindar,
Tanpa takut tak
merasa sabar,
Tanpa cemas dalam
hati menggetar,
Menikmati rasa kalbu
dalam sentuhan sejuk sang hujan,
Aku bertanya tanpa
ditanya dalam hati,
Apa masalahku dengan
dia yang kubenci?
Pikirku menyalak,
menggumam dalam diam,
Ini sebuah kertas
ujian dengan soal tanpa jawaban,
Cinta dimanapun dan
kapanpun sama,
Hanya ketika nanti
aku berusia 30, aku baru menyadarinya,
Dengan senyum malu
beraliskan kesal, sungguh terlambat mengakuinya,
Di suatu tempat yang
lain, aku yakin hujan yang sama turut membasahimu,
Di tempat-tempat yang
berbeda, yang membekaskan kenangan dan luka yang coba kita lupa,
Sambil meneguhkan
dada kembali, tidak lagi ada kata “kita” disana,
Relakanlah!
Biarlah hujan
membersihkan semua bingkai memori kita dengan tiap rintiknya,
Aku sungguh tak bisa
tak melepaskan semua yang pernah kulakukan denganmu,
Biarlah hujan
membasahiku,
Biar ia mengupas
semua dirimu yang ada padaku,
Biarlah hujan
membasahiku,
Biar aku melepasmu
dengan bulir air yang mengalir membasahi kening,
Dengan butir air yang
membasahi pipi,
Yang masih berharap
kau kan menanti.
Sangat indah, waktu
yang kusentuh saat bersamamu,
Saat canda dan tawa
alih berganti saling mengisi bibir kita yang sendiri,
Saat aku masih bisa
bertahan, menundukkan egoku yang ingin mengekang,
Tapi mengapa kau
susupkan rasa perih ini?
Saat aku adalah ia
yang sepenuhnya mengetahui kulit dan dagingmu,
Kita melemparkan sauh
kisah kasih bersama,
Tapi mengapa kita
serasa sebuah mobil tanpa ban yang berjalan tak seimbang,
Saat hujan, dan aku
berdiri menghibur sendiri,
Akankah terasa lebih
mengobati bila kututup saja mata ini,
Akankah hilang rasa
sakit yang menyerang,
Akankah kuterbiasa
dengan tiada kau, separuh jiwa.
Suatu saat, cinta
baru akan menemukan kita,
Entah itu kita atau
dengan dia yang tak kita duga,
Ya, benar,
Aku perlu
melupakanmu,
Butuh menghapusmu,
Seakan tidak ada yang
terjadi,
Seakan kita tidak
pernah saling mencintai,
Seakan kita tidak
pernah pula memutus hati,
Seakan kita memang
demikian adanya,
Tak pernah melihat
dan bersua,
Tak pernah menangis
dan tertawa.
Biarlah hujan
membasahiku.
Rabu, 25 September
2013, 09.01.
Some people feel the
rain, Others just get wet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar