Kamis, 23 Juni 2011

PDKT Via Hp dan Facebook dalam Perspektif Hukum Islam


Manusia adalah makhluk sosial yang mendambakan hidup damai dan harmonis. Adalah normal jika manusia mengalami ketertarikan dengan lawan jenisnya. Motivasi untuk bisa mengenal karakter, menyamakan pandangan hidup dan motif-motif lainnya, seringkali dijadikan dalih pembenaran untuk melakukan pacaran, bahkan beberapa pihak ada yang sedikit peduli dengan kelestarian norma etik-sosial sehingga merumuskan konsep “Pacaran Islami”.


Cinta dalam Islam tidak dilarang, karena ia berada diluar kendali manusia. Dalam Al-Quran disebutkan:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita (Q.S Ali-Imran 14)

Redaksi ayat diatas menjelaskan bahwa dalam diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Bahkan, cinta merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan membinanya sesuai dengan norma syari’at. Islam dengan universalitas ajarannya telah mengatur hubungan manusia baik secara vertikal maupun horizontal, tak terkecuali hubungan antara dua muda-mudi yang sedang dirundung asmara.

Diakui atau tidak, rasa cinta dapat mendorong terhadap perubahan perilaku seseorang yang sedang dilandanya. Bahkan terkadang dapat memotifasi terhadap tingkah laku buruk (tidak sesuai dengan syari’at). Seribu cara ia lakukan demi mewujudkan keinginannya. Disisi lain, terkadang ada seseorang merasa sulit untuk mengungkapkan isi hatinya. Akhirnya, Atas nama cinta, perasaan yang selalu terpendam diungkapkan melalui via SMS atau facebook atau jejaring sosial lain yang sejenis.

Bagaimana Islam mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang dilanda asmara? Adakah konsep “Pacaran Islami” dalam tradisi Islam? Bolehkah PDKT via HP, facebook dan lain sebagainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Marilah kita simak uraian singkat dibawah ini!

Definisi Pacaran
Istilah “pacaran” secara harfiah tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam. Secara umum, tidak cukup kiranya jika kata “pacaran” hanya didefinisikan dengan pertemanan, berduaan ditempat yang sepi, atau diartikan dengan makan. jagung berduaan, nonton bareng, ngobrol atau apel setiap malam minggu kerumah sang kekasih. Kata “pacaran” lebih tepat jika diartikan dengan hubungan kemesraan antara dua sejoli yang saling memadu kasih. Sebab konotasi dari kata ini lebih mengarah kepada hubungan pra-nikah yang lebih intim dari sekedar media saling mengenal. Sepasang kekasih bisa dikategorikan sedang berpacaran, sekurang-kurangnya apabila keduanya pernah bergandengan tangan. Dengan demikian, tidak berlebihan kiranya jika istilah pacaran dianggap bid’ah dalam tradisi Islam.

Dipihak lain, sangat tidak tepat jika kata pacaran diidhafah-kan(disandarkan) dengan kata “Islam”. Sebab jika kita mendengar istilah “Pacaran Islami”, maka secara axiomatic(badihi), akan timbul persepsi bahwa Islam telah melegalkan pacaran yang selama ini menjadi momok penghancur generasi muda yang taat beragama. Padahal konsep "Pacaran Islami" justru ditengarai menjadi perangkat untuk merusak jiwa para generasi muda Islam. Sebab secara tidak langsung, mereka akan lebih berani dan terdorong untuk memperluas wilayah pergaulan bebas antar lawan jenis tanpa mengetahui prosedur yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. Akibatnya, akan terjerumus dalam “cinta terlarang”. Bahkan mereka tidak sadar bahwa semua itu sebenarnya merupakan virus yang dikemas dalam bungkus agama. Tentunya kita masih ingat dengan acara Take me out yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Dalam acara tersebut, kita jumpai istilah “Ustadz Cinta”, sebuah istilah baru yang secara esensial sulit untuk kita definisikan. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tersebut. Sangat tidak logis jika kata “Ustadz” disandarkan pada kata “Cinta”. Sebab konotasi kata “ustadz” adalah seorang guru ngaji. Dan masih banyak lagi istilah-istilah baru yang tidak pernah ditemukan dalam tradisi Islam, bahkan terkesan ingin menghancurkan budaya Islam. Hal ini sesuai dengan pernyataan sahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu:

كلمة حق اريد بها باطل
Pernyataan tersebut merupakan bantahan atas semboyan لا حكم الا لله yang diusung oleh kaum Khawarij karena ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan sahabat Ali yang menerima arbitrase (tahkim). Semboyan tersebut memang benar, namun ditafsirkan lain oleh mereka.

Dalam konteks ini, Islam telah mengenalkan prosedur yang sangat indah dan proporsional yang mengatur hubungan antara lawan jenis, yaitu konsep khitbah.


Khitbah, Solusi Berpahala
Pernikahan dapat terjalin dengan penuh rasa kepercayaan bila didasari pengetahuan akan karakter masing-masing dari dua sejoli. Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar tempat berlabuh hasrat seksual, tetapi merupakan peristiwa sakral yang menyatukan antara sepasang manusia dalam satu bahtera rumah tangga yang bertanggung jawab, hak dan kewajiban bersama untuk membina dan mengarungi mahligai cinta menyambung estafet kehidupan, sebagaimana yang telah dianjurkan oleh baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Agar nilai sakralitas sebuah pernikahan tetap terjaga, maka posisi khitbah sangat urgen untuk menjembatani kemungkinan kekecewaan kedua belah pihak sebelum ikrar nikah. Lantaran proporsi fundamental khitbah hanya sebagai media ta’aruf (saling mengenal), maka legalitas kedekatan hubungan ini sangat terbatas.

Para ulama sepakat bahwa khithbah sebelum nikah hukumnya diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat apakah khithbah hukumnya sunah ataukah hanya diperbolehkan saja? Pendapat yang kuat dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa khithbah hukumnya sunah. Mereka beralasan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah melamar (Khitbah) Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar ibn khaththab. Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, tidak disunahkan.

Para fuqaha sepakat bahwa seorang pria yang bertujuan untuk menikahi seorang wanita diperkenankan terlebih dahulu melihatnya meskipun pihak wanita tidak memberi izin. Ibn Qudamah mengatakan: “Saya tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat tentang diperbolehkan melihat perempuan bagi seseorang yang hendak menikahinya”. Mayoritas ulama (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan sebagian Hanabilah ), mengatakan bahwa hukum melihat tersebut adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam

اُنْظُرْ إِلَيْهَا ، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَدُوم بَيْنكُمَا المَوَدَّةُ وَالأُلْفَةُ
“Lihatlah dia, karena hal itu lebih layak melestarikan rasa cinta dan sayang diantara kalian berdua” (HR. Ibn Hibban.

Sebaliknya, seorang perempuan juga dianjurkan untuk melihat calon suami sebagai pendamping hidupnya. Bahkan terkait dengan persoalan ini, Ibn Abidin mengatakan seorang wanita lebih berhak dari pada laki-laki, sebab bagi seorang laki-laki mempunyai peluang besar untuk meninggalkan wanita yang tidak dicintainya, berbeda halnya dengan seorang perempuan, ia akan kesulitan untuk mencari pengganti yang lebih ideal ketika menemukan ketidakserasian dalam diri sang suami.

Hukum diperbolehkan melihat diatas, dalam pandangan mayoritas ulama, hanya dikhususkan bagi orang yang mengetahui secara pasti atau minimal punya dugaan kuat lamarannya akan diterima. Sehingga apabila peluang cintanya ditolak lebih besar dari pada diterima, maka ia dilarang untuk melihat calon pendamping hidupnya.

Menurut mayoritas ulama, dalam proses seleksi karakter calon pendamping, seseorang hanya diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan (dhohir dan bathin) meskipun khawatir akan menimbulkan fitnah atau syahwat. Hal ini juga dapat dilakukan hingga berulang kali –tiga kali atau lebih- sampai yakin dan menemukan karakter calon pendamping yang ideal selama tetap menjaga aturan-aturan syara’, seperti tidak terjadi khalwah dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, sebagian ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa bagian tubuh perempuan yang boleh dilihat pada saat khitbah tidak terbatas pada wajah dan kedua telapak tangan saja. Toleransi ini, dalam pandangan mereka, lebih luas hingga pada bagian-bagian yang menurut umumnya terlihat, seperti wajah, telapak tangan, leher, telapak kaki, kepala dan betis. Mereka beralasan, karena ada kebutuhan dan hadits yang menegaskan tentang diperbolehkan melihat wajah adalah bersifat mutlak. Abu Dawud ad-Dhahiri mengatakan bahwa calon suami diperbolehkan melihat seluruh anggota badan. Namun pendapat Ini adalah pendapat munkar dan syadz(keluar dari ketentuan syariat), sebab akan menimbulkan fitnah.

Penjajakan karakter pasangan juga dapat dilakukan dengan cara mengutus seorang perempuan atau laki-laki yang halal melihatnya, untuk selalu meneliti perihal perempuan yang hendak ia nikahi. Atau juga dapat dilakukan dengan cara konsultasi dengan orang yang lebih mengetahui perihal calon pendamping hidupnya. Bagi pihak yang dimintai konsultasi wajib untuk membeberkan semua keburukan-keburukan yang tidak dapat ditolelir. Membuka aib dalam konteks ini bukanlah sebuah larangan selama ada niat untuk saling memberi nasehat antar sesama, bukan dalam rangka menyakiti perasaan orang lain.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam telah mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang jatuh cinta bukan dengan hubungan tanpa batas, atau diistilahkan dengan “Pacaran Islami” yang hanya dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah, namun hubungan yang dibingkai dengan nilai-nilai luhur dan dihiasi dengan fitrah keindahahan.


PDKT Via Sms Dan Facebook
Sebagai muslim sejati yang komitmen dan patuh dengan ajaran agama, tidak jarang ujian dan kendala datang menghambat dan menghadang jalan suluknya kepada sang ilahi Rabbi. Tak ketinggalan generasi muda penerus perjuangan bangsa dengan segala perbedaan latarbelakang pendidikanya juga harus berpegang teguh dan tahan banting menghadapi beragam godaan syeitan. Secara psikologis, generasi muda lebih suka hidup berfoya-foya dan menyalurkan hasrat seksual dengan cara apapun.
Belum lama ini, kita diingatkan dengan tragedi heboh “Sms Zina” dan pengaruh buruk facebook yang melanda muda-mudi negara tercinta. Tidak sedikit gadis-gadis yang tidak berdosa menjadi korban keganasan laki-laki hidung belang(bejat). Penculikan, pencabulan dan pemerkosaan gadis di bawah umur sempat menjadi tranding topic salah satu media masa. Ironisnya, perbuatan yang melanggar norma agama ini, baik dilakukan atas dasar suka sama suka atau karena dipaksa, terjadi akibat beberapa baris kalimat yang ditulis dalam sebuah pesan singkat.

Sungguh benar kata pepatah “memandang (pandangan), lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, kemudian bercakap-cakap, berjanji dan akhirnya bertemu”.

Diakui atau tidak, interaksi antar lawan jenis melalui media apapun sangat berbahaya, lebih-lebih bagi orang yang lemah imannya dan dangkal wawasan keilmuannya. Meningkatnya prosentase pergaulan bebas, kenakalan remaja dan degradasi moral timbul akibat kurangnya pengetahuan tentang norma-norma agama.

Dalam rangka meraih kesuksesan PDKT, tidak jarang para mania sms dan facebooker sejati melakukan obral janji, tebar pesona, dan mengeluarkan jurus “rayuan gombal”. Lebih-lebih jika isi tulisannya memancing dan membangkitkan nafsu birahi. Hobi mereka adalah menggoda, mempermainkan dan menyakiti perasaan wanita. Bahkan sebagian dari mereka ada juga yang berperan sebagai playboy gadungan yang tidak bertanggung jawab karena memilki semboyan “habis manis sepah dibuang”.

Imam ibn Hajar al-Asqalani dalam karyanya Fath al-Bari (syarh Sahih al-Bukhari) mengatakan bahwa berbicara dengan wanita diperbolehkan hanya dalam kondisi dharurat saja. Di dalam Is’ad al-Rafiq disebutkan “Salah satu diantara berbagai macam maksiat adalah melakukan sesuatu yang dapat berpotensi menimbulkan keharaman”. Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengatakan melakukan sesuatu yang menurut umumnya(ada dugaan kuat) menimbulkan kemaksiatan adalah maksiat. Menurutnya, sebuah maksiat tidak harus wujud secara real.

Demikianlah gambaran dampak negatif PDKT dan pergaulan lawan jenis yang melanggar norma syari’at. Bermula dari situ ada salah satu forum bahtsul masail yang memutuskan bahwa PDKT via sms, facebook dan lain sebaginya tidak diperbolehkan karena dapat menimbulkan hal-hal negatif. Wallahu A’lam bi al-Shawab.


Referensi:
• Hasyiah AL-Jamal vol. IV hlm. 120
• Fath al-Mu’in vol III hlm 298-299
• Al-Fiqh al-Islami vol. IX hlm 6507
• I’anah al-Tholibin vol. III hlm 299
• Hasyiah Al-Bajuri vol. II hlm 101
• Tafsir al-Qurthubi vol. XVI hlm. 340-341
• Ihya’ Ulum al-Din vol. II hlm. 160
• Is’ad al-Rafiq vol. II hlm. 93
• Fath al-Bari vol. I hlm 238

2 komentar:

  1. tulisannya mnarik, bagus, berbobot...!!!
    truskan brkarya ya akhi....

    maaf nie ,,,ana mnta ijin buat copas yaaa!!!..
    itung-itung buat bhan,,,!!

    BalasHapus