Senin, 01 September 2014

Akankah?

Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad


Sensualitas bibir yang melumat senyum jujur,
sosialisasi manis yang mendebur hampa dinding optimis
apresiasi palsu yang menggumpal menggunung,
menghitamlegamkan angan, menyusutkan garis harapan.

Tajuk dusta, fitur utama dalam ibadah,
renovasi hati dari riak riya' sudah terlanjur tak terpisah,
kombinasi dengki dan murka membutakan mata akan saudara,
bermitra dengan dunia, buat akhirat perlahan memudar fana.

Keluh Hamba

Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad


Masih kucoba membawa bebanmu dalam rapuh hati,
terpaan angin busuk, begitu dingin menusuk,
tak ramah, lepuhkan kesabaran yang meranggas tak berbekas.

Masih tabah ku terima semua luka yang menganga,
dari awal bertemu hingga kali kita berpisah,
tak acuh ribuan mata terpasang memasung,
cinta ini terlanjur hancur melebur mematung.

ku lelah dengan tiap tetes duka rindu,
bertambah tua sudah rasa payah yang membiru.

Bisik Hati

Sebuah Puisi 
oleh Ismail Sunni Muhammad


Bawalah ruh ini, menggembala pada sabana medina di lain sisi dunia,
Kukuhkan kaki ini, yang meronta kasar menyalak pada tuannya,
Tunjukkanlah, hal yang baik, serpih hati yang mulia,
akan berpijar hangat dalam buncah cahaya.
Indah dalam ombak dzikir yang bertabuh mesra.

Beritahukan, ia tidak duduk dan bercengkrama sendiri.
Kabarkan, ia tak pula bernafas gratis, bila tak menatap jalang alam semesta membentang.
Yakinkan, apa yang ia rasa tak pernah salah, sekalipun dua kali terkadang benar sedikit memaksa.

Kerana, ketika hamba-Nya yang lain, mampu memicingkan mata kalbunya,
Melenyapkan tiap cinta busuk, karya setan dan iblis durhaka,
Menekan habis syahwat diri sendiri, demi membelalakkan tangan membantu sesama.
Menyelamatkan waktu yang tergigit pasrah dengan tiap detik dzalim durjana,
Menutup bathin, dari selain-Nya, hanya untuk lebih ma’rifat pada-Nya,

Engkau, Rabbku

Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad


Saat bibir ini tak mampu lagi mengucap kata,
Tentang betapa perih luka yang terlanjur busuk menganga,
Engkaulah, penyembuh kalbu yang kunanti senantiasa.

Saat semua yang mata mampu lihat,
Adalah kenangan dosa yang sinis mencerca,
Engkaulah, Pembawa cahaya yang memelukku ramah.

Saat mereka yang mengaku cinta,
Tak acuh, menatap hampa, meninggalkanku merana,
Kau masih setia, bersabar mendengar curhatku di malam sepertiga.