Catatan Harian
Mengawali, saya kutip semangat Mau Zedong, founding father Cina. Beliau berkata, If you want to know the taste of a pear, you must change the pear by eating it yourself. If you want to know the theory and methods of revolution, you must take part in revolution. All genuine knowledge originates in direct experience. Intinya, adalah anda harus menjadi bagian dari perubahan yang ingin anda lihat. Anda harus memperjuangkan sesuatu yang menjadi keinginan anda dan anda mencintainya.
Normalnya, seseorang tentu akan mengatakan isi perasaannya, pada seseorang yang dicintainya, mengikuti kaidah ushul fiqih, “al-ashl, baqoo’u ma kaana, ‘ala ma kana”. Karena itu adalah communication bridge, perantara bagaimana membuat si dia mengetahui apa yang kita inginkan dan rasakan. Manusiawi pula, bila anda mencintai seseorang, tentu ada dorongan untuk memilikinya. Lantas, apakah dengan tidak mengatakan perasaan kita, berarti kita tidak normal? Dan apakah dengan tidak adanya hasrat memiliki, seakan secara implisit menasbihkan bahwa diri kita tidak manusiawi?
Setelah dibahas ribuan tahun,
virus merah jambu ini masih tidak kelar-kelas selesai dan habis diperbincangkan.
Dari berbagai sisi kehidupan dengan variasi kisahnya, mulai dari yang accepted
traditional-personally hingga, internasional dan kontroversial. Entah,
berapa pula posting cinta yang telah tertulis dan beranakpinak di Kompasiana
ini. Dan saya harap tarian pena saya mampu menyegarkan kembali kebosanan anda
menganalisa cinta.
Bermula dari kisah saya sendiri, pernah
mencintai seorang gadis. Ketertarikan ini lahir dari kesamaan minat kami, hobi
nyemil bahasa Inggris. Sekalipun, kami beda fakultas, dia Tarbiyah dan saya
Dakwah. Beberapa kali bertemu, bagi saya, sudah cukup jadi obat rindu, akannya.
Hingga akhirnya saya melanjutkan
studi saya di Yaman, hati saya masih sulit mengingkari kalau saya tidak
mencintainya. Suara imut dan tawa renyahnya masih jelas terngiang di telinga
saya. Seakan baru kemarin saya bercakap dengannya, padahal 3 tahun telah
berlalu begitu saja. Tanpa ada kabar dan berita tentangnya. Dalam hati, saya
bertanya, “Apakah ini kesalahan saya, karena tidak mengungkapkan perasaan
saya dulu padanya?”
Mengawali, saya kutip semangat Mau Zedong, founding father Cina. Beliau berkata, If you want to know the taste of a pear, you must change the pear by eating it yourself. If you want to know the theory and methods of revolution, you must take part in revolution. All genuine knowledge originates in direct experience. Intinya, adalah anda harus menjadi bagian dari perubahan yang ingin anda lihat. Anda harus memperjuangkan sesuatu yang menjadi keinginan anda dan anda mencintainya.
Normalnya, seseorang tentu akan mengatakan isi perasaannya, pada seseorang yang dicintainya, mengikuti kaidah ushul fiqih, “al-ashl, baqoo’u ma kaana, ‘ala ma kana”. Karena itu adalah communication bridge, perantara bagaimana membuat si dia mengetahui apa yang kita inginkan dan rasakan. Manusiawi pula, bila anda mencintai seseorang, tentu ada dorongan untuk memilikinya. Lantas, apakah dengan tidak mengatakan perasaan kita, berarti kita tidak normal? Dan apakah dengan tidak adanya hasrat memiliki, seakan secara implisit menasbihkan bahwa diri kita tidak manusiawi?
Dari dua pertanyaan itulah, muncul
pengecualian, betapa seseorang memiliki pertimbangan tertentu, mengapa ia lebih
memilih menjaga dan memendam perasaannya. Adalah ragu, sebab pertama seseorang
memendam perasaannya. Ragu pada dirinya dan pada orang yang dicintainya. Ragu,
apakah rasa yang benar-benar bergelora dalam dadanya, telah resmi berlabel
cinta? Ataukah sekedar perasaan sayang sementara atau kagum semata?
Ragu, apakah seseorang yang kita
cintai, juga memiliki perasaan yang sama dengan kita? Bahkan ada probabilitas,
apakah dengan memiliki perasaan yang sama, lantas dia mau menerima kita? Wanita
itu, makhluk yang benar-benar mahir memberi jawaban yang tak terduga. Sulit
ditebak? Benar, karena mereka menggunakan perasaan sebagai akal, beda dengan
lelaki, yang menggunakan akal sebagai perasaan.
Teringat lelucon Ted, salah satu
fanspage Twitter yang saya sukai, “Don’t try to understand women? Women understand
women, and they hate each other”. ^_^
Kembali ke pembahasan, saudara. Ragu
tahap kedua, apakah dirinya telah siap menerima dan melakukan konsekwensi dari
perbuatannya? Memang, dengan berani mengutarakan “I love you” pada
seseorang yang anda cinta, setidaknya cukup membuktikan bahwa anda bukan lelaki
cemen bin pengecut. Tapi, itu tidak lantas menjadikan anda, lelaki yang bertanggungjawab
dan trust-worthy. Itu lain masalah lagi.
Berapa banyak, lelaki yang pandai
berkata cinta, di balik kekasihnya, begitu mahir mendua, bertiga atau bahkan
berlima? Sebagai lelaki, saya bisa menebak, lagu favorit para wanita yang
berpacaran saat bernyanyi di bawah shower adalah “mau dibawa kemana hubungan
kita? Jika kau terus menunda-nunda, dan tak pernah nyatakan –nikah?” [re-edit
dari cinta].
Karena ketika dia telah menerima
penyataan cinta anda, dengan kata lain, dia benar-benar percaya bahwa anda
dapat menjadi pendamping hidupnya yang reliable dan loyal [cinta
monyet, tidak termasuk]. Anda tidak bisa bermain dengan perasaan. Sekali anda
melukai, tak tahu adakah maaf terucap murni. Dan seandainya ada kata maaf, akan
sangat sulit untuk percaya lagi.
Di sinilah, cinta memberikan
definisi pengorbanan. Ketulusan anda diuji, mulai membagi waktu, mengolah tenaga,
mencurahkan perhatian, dan harta. Di sini pula, cinta memberikan definisi keteguhan.
Sampai mana, anda mampu mempertahankan bahtera hubungan anda berdua. Saat ini,
kita bicara tentang prospek dan visi, bagaimana mencintai secara profesional.
Karena profesional tidak terbatas bergerak pada lingkup bisnis saja, mencintai
juga sebuah profesi yang butuh keahlian khusus untuk menjalankannya hingga
tercapai long-live-love relationship.
Titik ini yang akan menjadi
penentu, apakah benar, anda seorang lelaki sejati? Yang berani merealisasikan
janji. Titik ini pula yang akan membuat wanita mengamini kutipan bijaksana, “don’t
marry a man, unless you would be proud to have a son exactly like him”.
Dengan tetap tidak menuntut kesempurnaan pasangan kita, tentunya.
Pertimbangan ketiga, adalah ketika
anda mengutarakan perasaaan anda padanya, hanya membuat keadaannya memburuk.
Bukan berarti kita pesimis, tidak! Kita hanya mencoba realistis dan berpikir
logis. Misalnya, sesorang yang anda cintai, sedang fokus menghafalkan al-Quran,
atau terobsesi untuk terus berprestasi dalam studinya. Seandainya, anda
mengutarakan perasaan anda, bukankah ada kemungkinan anda mengganggu
konsentrasinya? Bila ia tidak menerima anda, bisa jadi ia kepikiran, bagaimana
keadaan anda, apakah keputusannya benar/salah? Bila ia menerima anda, terpikir
lagi, apa komitmen yang akan dijalin bersama? Tentu, ini juga akan memiliki side-effect
pada diri anda sendiri. Menguras tenaga, perhatian dan waktu anda untuk suatu
yang belum jelas manfaatnya. Pikirkan karir dan studi anda. Itu akan lebih
bermakna, bukan?
Pada keadaan inilah, tidak
memiliki dikatakan manusiawi. Atau dengan term lain, kita memiliki,
tidak raga, namun dengan jiwa. “Ini demi kebaikanku dan dirinya”, setidaknya
itulah yang anda bisikkan pada hati. Atau memang anda memiliki tendensi untuk
lebih memilih menjadi secret admirernya. Dan inilah alasan mengapa saya
lebih memilih memendam perasaan saya. “Toh, kalau sudah jodoh takkan kemana!”,
kata abah saya. Cukup dengan membingkainya dalam puzzle memori,
memeluknya dari kejauhan, dengan hangat doa.
Kesimpulannya, bila tidak ada
pertimbangan-pertimbangan yang saya sebutkan di atas, menari-nari dalam benak
anda, maka mengutarakan perasaan anda, adalah lebih baik. Siapkan mental anda.
Berilah fifty-fifty pada optimis dan pesimis untuk diterima. Bila tidak
diterima, akuilah dengan ksatria. Jadikan cermin, lahan evaluasi diri. Ambil
positifnya. There’s still someone better you deserve to have. Jangan
sampai mengikuti adagium, “Cinta ditolak, dukun bertindak”. Salam,
lelaki sejati. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar