~ Catatan Harian
Mendekati
ujian akhir semester ini, seperti biasanya, asrama dan pelataran kampus
terlihat tenang namun ramai. Tenang karena teman-teman larut dalam konsentrasi
mereka, mereview pelajaran satu semester, ramai karena mereka tidak hanya satu.
Bersembunyi di balik rimbun kebun, berteduh di bawah pohon kurma yang berbuah, I’tikaf di
masjid yang tenang atau hanya sekedar duduk di atas ranjang. Tiap orang serasa
sibuk dan larut dalam sakaw khawatir dan tekanan ekspektasi. Mengapa demikian?
Sakaw
khawatir dan tekanan ekspektasi, karena ujian akhir semester kerap kali menjadi
tolak ukur dan penentu apakah kita benar-benar bisa melanjutkan level studi
kita ke level yang lebih tinggi, atau tetap di kelas yang sama dengan
konsekwensi mengulang satu tahun, atau dipulangkan ke Indonesia. Setidaknya,
itulah aturan yang tertulis dalam kode etik universitas kami, Al-Ahgaff,
Hadhramaut, Yaman.
Bisa
dikatakan, kita tidak hanya ditantang ujian analisis dan komprehensi mata kuliah
dengan beberapa kitab ratusan halaman selama satu tahun, tapi juga fisik dan
mental kita. Fisik, karena untuk memuthola’ah apa yang telah dikaji satu
semester membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Musti memotong jatah tidur,
menghabiskan hari dengan memeluk kitab yang diujikan. Mental, karena threat
yang saya sebut di atas, tetap di kelas yang sama atau pulang ke tanah air
tanpa sukses. Mengerikan bukan? Mungkin tidak bagi anda, tapi bagi kami, iya
banget.
Itu
bisa menjadi motivasi sehat serta dopping penghilang kantuk saat menelaah
kitab, yang biasanya membaca dua halaman sudah menjadikan mata berkelip 5 watt.
Itulah mengapa saya menyebutnya sakaw, memaksa mengeluarkan potensi tersembunyi
tertinggi dalam diri dalam waktu yang terbatas. Dan segalanya yang dipaksa,
tentu tidak akan terasa nikmat dan mudah di awal. Namun, secara teratur dan
bertahap, bisa melahirkan 2 kemungkinan, adiktif mengkaji kitab atau bahkan
sebaliknya, membedahnya secara kondisional.
Termasuk
saya, sejujurnya adalah orang yang sulit untuk diajak belajar secara konsisten.
Masih cukup sulit mendisiplinkan diri, memenuhi jadwal yang telah diatur,
menerapkan gagasan yang diimpikan, dll. Lebih mudah berkata dan menulis
daripada beraksi dan menjadikannya nyata. Sehingga, saya bisa dikatakan masuk
klasifikasi orang yang berkeyakinan adanya faktor lucky atau keberuntungan.
Beberapa orang mendefinisikan keberuntungan dengan multi-interpretasi. Dalam
kasus saya, keberuntungan saya adalah pada doa orang tua, rekan sahabat, rasa
belas kasih guru, dan semata kehendak Allah.
Ya,
karena saya, ehem, lazy but talented, kata teman saya demikian. Untuk bisa
lulus setiap ujian yang diadakan di sini, sebenarnya mudah-mudah gampang. Teman
saya menimpali omongan saya, “ahwaalut thullab tatawaqqof ‘ala hasabi adhraaful
asatidz”. Singkatnya, pelajaran di sini mudah, tinggal lihat guru pengajarnya
saja. Bila gurunya terkenal rumit, maka mata kuliah yang mudah, jadi rumit
juga. Bila gurunya sederhana, mata kuliah yang minta ampun sulit pemahamannya,
jadi ringan dihisap, layaknya menghisap Surya menthol atau Sisha [rokok arab].
Semesta
mendukung, itulah yang menjadi prinsip kedua saya, saat teman-teman sudah
memulai belajar sejak 2 minggu yang lalu, hari ujian tinggal 3-4 hari saya baru
mempersiapkan diri. Keyakinan kedua, nilai positif tertekan adalah melejitkan
kemampuan kita yang tak terduga. Sekalipun saya pernah gagal, entah saya masih
merasa tidak kapok. Saya ikuti tiap ujian dengan macam persiapan spontanitas
yang bermacam-macam tanpa menghiraukan nilai yang saya dapatkan di akhir. Lastly,
beberapa dapat baik [jarang mendapat mumtaz/excellent], beberapa membuat saya bernafas berat dan mengelus
dada.
Semoga
saja, Allah segera memberi saya suntikan hidayah dan inayah saya untuk belajar
layaknya minum dosis obat, sehari 3 kali sehabis makan. Teratur dan segera
lulus. Doanya ya teman-teman pembaca. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar