Sebuah Puisi [20]
Perhatikan cipta tuhan dengan iman raksasa,
Bahkan ketika hidup bertahta menitah dengan lalim kasar
memaksa,
Tidak kau alihkan tatapmu mundur menyerahkan asa,
memudarkan cita,
Rautan pelangi yang tergores membuka belaiannya
melindungimu,
Kau terjatuh, dengan langkah yang memberat, kaki kaku
yang bergerak lunglai lumpuh,
Mengganggu mereka yang menatapmu dalam intipan sinis
penuh duri.
Semakin tenggelam, kau tersedak dalam gulita kecewa,
Nafasmu tersekat, tertusuk sesak oleh gravitasi cibir
yang mengisi rongga duka,
Dimanakah pelita cahaya?
Keluhmu dengan hatimu tertutup debu lusuh,
Akalmu menggeliat kembali nyenyak, mengucap lemah, tiada
daya,
Sekali saja, berdirilah kembali.
Sekarang adalah mula semua kisah,
Melebarkan bahumu yang menciut takut,
Karena dalam hadirmu, ada ruh yang tangguh, menempuh tiap
kara dan bencana,
Maka duduklah, berdiam dari memecahkan cita, tatap lurus
masa,
Berdiri kembali, eratkan genggamanku, menantang dunia.
Laksana melati bertemu teratai terbang di atas serpihan
air danau Bakauhuni,
Beriring tenang, menunggu waktunya terlepas dari jeratan
derita, menyatu dengan semesta,
Mandiri, layaknya awan yang menjanjikan hujan,
Bahkan ketika kau bersekongkol menyogok petir untuk
bersembunyi,
Apalah dayamu, bila kau masih di bawah langit yang
berkuasa,
Membasahi tiap butir khawatirmu,
Dengan manik manis cahaya, dan akan tiba saat kau
bermuara.
Kepalamu yang merunduk malu,
Bukanlah salahmu, terjatuh dalam gundukan apatis dan
kubang lesu,
Diamlah, hindari menggerutu,
Kenali, teliti dan rasakan, siapa dirimu dan untuk siapa
sebenarnya,
Meski kau dan aku berbeda,
Layaknya singa dan tembaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar