Sebuah Puisi [22]
Aku kembali menyerah dan mengalah,
Hatiku tersakiti, jatuh tak berdaya,
Kamu datang, menyusuri lorong pekat menemukanku teronggok
berlumur desperasi,
Menghangatkanku dalam dekapanmu yang mencium dingin
hatiku, kembali bermuat asa.
Kedua tanganku menggelayut dengan kuat nan erat,
Namun lututku bergetar, lemah tak dapat menyusulmu,
Tak sanggup menemanimu, dalam bingkai pesonamu,
Tanpa harus tertatih dengan lelah yang menjerit mengikuti
jejakmu.
Tertipu, dan aku melihat sisi aneh tersembunyi dalam
bilik wajahmu,
Yang takkan pernah kuketahui dan tak akan bisa kupahami
mengapa,
Semua tetes kata yang terucap,
Hanya ucap dusta berbalas durka teruntai senyum nista
menggoda,
Taktik busuk yang kau mainkan dengan cinta ternoda
fitnah,
Kau perankan dengan keluguan yang mengikis rasa percaya.
Namun ku masih mencoba memetik putik cahaya dari tetes
rimbun hujan yang melambai,
Membiarkannya membasahi wajahku dengan menyentuhmu walau
ku tersiksa,
Tersakiti, perih,
Dan dekapmu tak lagi hangat, malah menyala membakar,
Menguapkan tiap bulir tangis yang menetes terisak,
Menjerit menangis meraung membanting bumi dengan
menyalahkan kamu, namamu.
Kulitmu membiru membelaiku dengan angkuh,
Aku bisa terus terjaga dan bertahan,
Ku rapatkan mataku dengan secercah doa,
Merasa kau menjaga, bukan terjaga olehku,
Selamanya,
Kau dan aku bersama,
Nina bobok sendu, aku menggumam, lebih baik kubur aku
seperti ini.
Terkadang, aku terbangun, liar, menembus hutan
penasaranku,
Menggebrak tiap pintu dosa yang menutup gelap menuju
arahmu,
Hatiku yang telah kau pikat ini terus mendesak dan
melesak,
Menunggu dalam sesal, menjemput tak sabar,
Bahkan ketika kata tak lagi ada, tertutup dengan tara,
Aku meringkuk dalam pualam emosi, terbujur kaku dalam ego
yang menyanyi sunyi lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar