Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad
Rabbku,
Di sini ku berpijak dalam sujud malam, merenung tak terhentak,
bilamana kau mampu, bersediakah kau kirimkan salam dan sholawatku,
pada nabiku, Muhammad, panglima perang yang santun dan lugu.
pada guruku, Muhammad, manusia dan mahkluk terbaik yang pernah ada,
pada idolaku, Muhammad, dimana pujiku talk henti mengalir bertiup memenuhi
dada,
Tertulis ratusan puisi, biografi dan ribuan lantunan rabbani,
tiap rima mengisi bait-baitnya dengan puja puji untuknya,
tiap paragraph
mememenuhi kalimat dengan detik keberanian perjuangannya,
tiap sajak lagu cinta memoles agung akhlaknya yang didamba,
tiap nada serta irama merajuk ingin bertemu dengannya kelak di jannah,
takkan pernah bisa, ungkapkan cinta yang membanjir memenuhi ruang pikir,
begitu buta dengan goyah sastra, begitu tuli dengan gramatika kaku nan
basi,
apa yang ingin ku tetapkan pada qudwahku,
ketika kucoba menetas teteskan embun cintaku padamu sebagaimana cintamu
padaku,
Dualisme suara dan melodi tertegun dalam kagum abadi,
dogmatis bahasa berdiri hormat, angkatkan topi,
belot ambigu tiap tinta, mundur perlahan rapi dan tertata,
untuk menulis tiap langkah hidupmu yang sederhana.
Mereka tak akan pernah
sanggup melukiskan,
betapa dalam dan meluap rindu ini mengakar perasaan,
betapa mencuat ribuan helai syukur dalam bibir, tak tertahan,
masih rumit dengan aksara kujelaskan,
mengapa aku tak pernah mampu mengukir cintaku padamu, wahai pembawa pesan.
Tak ada, dan takkan pernah ada,
di dunia, hidup seorang lebih mulia dari paduka,
dalam uswah dan indah berkata,
Hingga kaki letih karena ibadah menapak bumi,
betapa ku iri, dengan bebatuan dan kerikil yang tersenyum ceria
betapa ku iri, dengan debur debu yang singgah pada tubuhnya yang penuh
berkah,
betapa ku iri, dengan helai daun dan
unta yang mencium khidmah tangannya penuh cahaya,
ya Rasool Allah,
ya Habiba Allah.
Ku mengemis dengan kerendahan diri dan hati,
wahai Allah, pertemukan kami menatap kekasih kami,
Sempatkanlah kami bertemu dengan pemimpin yang akhir hayatnya masih
bertanya,
umatku,
umatku,
umatku,
bagaimanakah kabar mereka?
tanpa perduli dengan keadaannya dalam hembusan nafas satu dua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar