Sebuah Puisi [19]
Desah awan biru menipis berbisik menyapu sore salju,
Kamu masih bisa berusaha mencintainya kan?
Dalam tanya bimbang yang menghantui kalut harimu,
Karena kamu masih merasakan detak jantungmu yang melemah
kala terpisah,
Karena kamu masih tersiksa dengan tusukan pilu setia kala
ku mendua.
Ku sadari dari awal, hati ku takkan bisa menyatu
denganmu,
Adakah kau bisa memahaminya?
Bukannya tak percaya,
Jujur, aku hanya masih terjebak dalam ragu yang merana.
Apakah kita benar, ditakdirkan untuk bersama, selalu dan
senantiasa?
Di setiap akhir cerita dan alur drama?
Sehingga mampu mengobati dengki yang membabi buta,
Oleh luka durhaka yang aku cecerkan,
Dan waktu akan menggiringku ke tepi pelataran khayalmu,
Selamanya, tanpa terhancur lagi dalam tangis,
Yang kau ukir begitu pahit dalam lubuk resahmu,
berharapnya nyata.
Ingatkah kamu detik saat kita pertama bertemu,
Mata mungil hitammu menyala,
Merebak semua gelap tanya yang memperkosaku dalam kelabu,
Syukurku tulus atas kamu yang telah mengisi bilik hati
hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar