Sebuah Puisi
Bukankah kau seseorang yang layak kukagumi,
Karena cahayamu yang membias dalam cermin itu,
Aku tak sanggup tak perhatikanmu,
Karena kau benar-benar refleksi hati.
Jika sepi adalah rasa yang membunuh diri,
Dan pantulan kasih hanyalah membelahku dalam sendu,
Cukup kau tahu, jika aku selalu terhubung denganmu,
Melalui sisi lain, melalui cakrawala yang beda
Kerana dengan tanganmu memeluk tanganku,
Dengan secarik saku, penuh dengan ruh rindu,
Aku dapat berkata,
tiada tempat ku pergi dan menangis selain padamu saja,
Letakkan tanganmu pada kaca, kucoba untuk menarikmu
melewatinya,
Kaca cinta yang telah lama retak,
Yang buatmu semakin tegar tak terdesak.
Kerana aku tidak ingin kehilanganmu saat ini,
Saat ku mulai menemukan dalam intaianku, separuh diriku
yang lain pada dirimu,
Ruang kosong dalam hatiku menggumam dalam ratap kacau tak
jelas,
Adalah kau, udara yang menghilang dan bernafas,
Menunjukkanku bagaimana tumbuh dan mengarung liar,
Kan kukatakan padamu, itu mudah seringan membelai angsa,
Tersungkur kembali padamu sekali, dimana aku takkan bisa
mengerti.
Seperti dirimu menatapku dalam cermin hati yang beda,
Dua namun sama, dua yang berarti satu,
Cermin merah yang menatapku curiga,
Aku tak berdaya untuk menjadi atau bertasbih lebih
tinggi,
Dengan seorang lain melainkanmu di sisi,
Rupa jelas membunar dalam pendar emosi janji,
Bahwa adalah suka, tidak berarti cinta,
Bahwa tak selalu emosi, membawa rugi,
Bahwa bukan rindu, bila benci menggebu,
Namun kita adalah cermin hati, dua yang memisah,
Bukan terbelah karena kasih takkan melemah,
Kerana aku melihatmu adalah aku,
Saat sunyi mengacuhkanku dalam tuli
Bukankah kau bidadari yang menggertak lembut,
Kerana halus tak selalu sama dengan tak kasar,
Dan aku masih tak sanggup berkata,
Selain menidurkan hati dengan pedulimu samar dalam mata,
Berubah, takkan pernah berlaku, bila kau yang menipuku
lebih dahulu,
Kau refleksiku, cerminku yang hilang dalam ilusi kota,
Jika lalu kudapat, niscaya ku redam semua detak tatapan
jiwa.
Jari jemari menusuk mengoyak mengobarkan rindu dada,
Kau cabut seluruh jiwa, rautmu santun tak berdosa,
Hingga kau bertutur pada jiwa, tak ada tempat yang akan
menghilang bila bersama,
Neraka dan surga, tak ada beda,
Rasakanlah diriku, dengan sentuhan halus pada kaca yang
telah layu,
Mengagumimu dari sisi dunia, mencoba memelukmu, impian
yang takkan menjadi fakta,
Kau, dengan diam, Kau, dengan abai, Kau dengan risau.
Aku masih berharap, tidak kehilangan kau, setidaknya saat
ini, kala semua telah pergi,
Masih tertegun, dalam renung, menangis dengan setengah
hatiku yang rabun,
Kosong,
Menemaniku duduk, membentengi dari selimut ego yang
sesekali berkecamuk,
Adalah itu hatiku yang kau raba dan bawa,
Yang menunjukkanku bagaimana berjuang sebenarnya,
Ku katakan padamu, itu mudah, kasih,, selama ku menyadari
kau di sisi,
Selama kau berkenan menungguku di sini,
Sebagai cerminku. Sebagai tempat penantianku.
Hari yang lalu telah tertiup angin dari celah-celah
bambu,
Hari esok, menalarlogika semua misteri nyata,
Dari balik kabut cemburu, aku melihatmu masih melihatku,
Dari rimba belantara, kau adalah inspirasi puisi yang
kucipta,
Melegalitasi wajahmu yang bertanggungjawab atas
komplikasi kasihku,
Menyesakkan, bingung menentukan arah,
Meradang, wajahmu bercahaya layak purnama,
Deklarasikan merdeka atas diriku di masa muda,
Hingga begitu berat mengucap duka,
Hingga begitu berat melepas luka,
Hingga menunggu satu-satunya hal yang berharga,
Menjemputmu atau menunggumu di rumah dengan setangkai
mawar darah,
Kau cintaku, hidupku, cerminku, yang kutunggu, hapuskan
waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar