~ Catatan Harian
Mengapa sih
harus wanita shalihah?
Seburuk apapun kelakuan seorang
lelaki, pasti memiliki keinginan, sekalipun kecil, untuk meminang seorang
wanita shalihah. Karena sudah menjadi tabiat manusia, menyukai keindahan dan
kebaikan. “wa innahu lihubbil khoiri lasyadid”. Entah bertujuan
memperbaiki keturunan atau memperturutkan nafsu belaka. Dan terserah pula
bagaimana anda mendefinisikan kebaikan dan keindahan, apakah itu berkonotosi
negatif atau positif?
Pasti kita sering mendengar ucapan
seorang dai, “alkhobisaat lil khobitsin, - watthoyyibat lit thoyyibin”.
Wanita yang buruk untuk lelaki yang buruk, wanita yang baik untuk lelaki yang
baik. Dari sini, kita sudah bisa menelisik bahwa hukum Karma juga tersisip
dalam Qur’an. Setiap apa yang kita lakukan, kebaikan atau kejahatan, sekecil
apapun, pasti akan mendapatkan balasannya. “wa man ya’mal mitsqola dzarratin
khoiron yaroh, wa man ya’mal mistqolah dzarrotin syarron yarah”. Dan tulang rusuk kita yang hilang
pastinya berwatak tidak jauh dari bagaimana kita bersikap dan bergaul, ia
melengkapi dan menghiasi.
Karena kelak istri akan menjadi
rumah bagi sang suami, ladang pahala
baginya, pendamping
hidup, pengasuh keluarga, dan ibu bagi anak-anaknya. Tentu setiap orang hidup
dengan background, prinsip dan kebiasaan hidup yang berbeda, hingga
berbeda pula selera dan tujuan dalam memilih belahan hati mereka.
Shalihah
berasal dari rumpun kata shalih, shalaha, yang berarti patut, serasi,
baik, dan kompeten. Shalihah bisa dikatakan mutadayyanah,
memiliki agama dan akhlak yang baik. Karena agama ada, lebih dari sekedar
filosofi, adalah moral yang melegalisir tiap hak, menjaganya, menyeimbangkan
kewajiban, mensinergikan hubungan horizontal [makhluk dengan sesamanya] dan
vertikal [makhluk dengan Rabbnya], mengikis nafsu dan segala penyakit hati. Akhlak
yang baik akan menyuburkan rasa kasih dan cinta yang membantu menguatkan
keharmonisan keluarga.
Apakah
kecantikan paras tidak berpengaruh?
Wah, tentu dong. Karena manusia
men-judge sesamanya dari penampilan luar, hanya Allah yang mampu melihat
dan mengatur isi hati tiap manusia. Di sini muncul dua persepsi, tampilan luar,
murni tampilan luar dan tampilan luar, adalah cermin isi hati. Kita tidak bisa
memutuskan begitu saja, selain langsung hidup bersama mereka. As someone ever said, “don’t judge
the book by its cover”.
Siapa yang tidak mau memiliki
istri yang cantik? Siapa pula yang tidak ingin memiliki suami tampan? Namun,
berhati-hatilah, karena mungkin saja kecantikan dan ketampanan menipu kita.
Lalu bagaimana dengan yang berharta? Boleh, namun tetap berhati-hati,
kasus yang sering terjadi, bila si istri yang lebih kaya, si suami jadi
tertindas dan tertekan. Mau melarang ini, menolak itu jadi serba salah. Padahal
“ar-Rijaalu qowwamuna ‘alan nisaa”, lelaki tuh pemimpin wanita.
Jalan amannya adalah kembali pada
anjuran pertama, wanita shalihah. Bukan berarti agama menafikan faktor
kecantikan, harta dan keturunan. Pertama, pilihlah yang beragama baik,
bila ia memiliki 3 kelebihan lainnya [kaya, manis dan berketurunan baik] atau
salah satu saja, maka itu adalah nilai plusnya dan tidaklah mengapa. Rasulullah
SAW menikahi Khadijah ra. yang kaya, Aisyah ra. yang cantik jelita. Baik
Khadijah ra. dan Aisyah ra. memiliki akhlak dan keilmuan yang baik.
Selain shalihah, usahakan
juga dia cantik. Jangan khawatir kalau kecantikannya akan menipu, bukankah kita
sudah mengetahui keshalihannya terlebih dahulu? Dan mengapa harus
cantik? Ini akan membantu kita menjaga pandangan kita melihat pada wanita
selain istri kita. Jadi setiap kali melihat istri kita, semakin bertambah rasa
sayang dan cinta kita padanya.
Salah satu teman saya berkelakar,
“Cantiknya seseorang itu relatif sun, tapi kalau jeleknya, rata-rata
muttafaq ‘alaih [disepakati bersama]”. Kami tertawa bersama, dan saya menimpalinya, “wah,
parah kamu, mas”,
sekalipun dalam hati saya mengiyakan pernyataannya juga. Ada benarnya juga kalau
dipikir-pikir.
Dengan begini, saya membatasi lagi
atau mendefinisikan ulang bagaimanakah seorang wanita shalihah idaman, “Idza
nadzaro ilaiha, sarrathu, wa idza ghooba ‘anha hafadzhathu, wa idza amaroha
atho’athu”. Bila dilihat, ia menyejukkan mata, jika ditinggal, ia menjaga
harta dan keluarga, jika diperintah, ia menurutinya.
Selain shalihah, dan
cantik, sepatutnya ia juga wanita yang lembut dan subur. Merujuk kembali pada
tujuan utama menikah, di antaranya adalah untuk melanggengkan generasi, bukan?
Tentu menimang buah hati akan menambahkan kemesraan dan kedekatan kita
nantinya.
Terakhir, akan lebih baik, bila ia
masih perawan. Mengapa harus perawan? Karakter perawan cenderung mudah menurut,
adaptif pada kelakuan suaminya, dan tidak terlalu memikirkan lawan jenisnya,
tentu ia masih lucu dan lugu [entah dengan perawan Indonesia saat ini; apakah
masih layak dikatakan lugu?]. Romantisme hubungan akan selalu tumbuh mengakar tiap
harinya.
Bukan berarti kita menilai setiap
perawan lebih baik dari yang menjanda. Nilai lebih janda, ia sudah sangat
berkompeten dalam mengatur rumah tangga [lebih tenang menyikapi masalah, sudah
pengalaman bro], dapat lebih mengerti keinginan suaminya [karena insting
kewanitaannya lebih terasah], dan masih banyak lagi keistimewaan janda yang
bisa membuat anda tersenyum puas dan bangga.
Dan pilihan terakhir, kembali pada
diri anda, hati anda tepatnya. Shalihah, dan kriteria di atas akan melebur
pudar, bila anda memang sudah benar cinta buta pada seseorang wanita. Urusan
hati tidak bisa diganggu gugat. Karena cinta adalah “tsamrotul idrok wal
ma’rifah, kullama kaanatil ma’rifah atam, kaanal hub aqwa”. Buah dari
kesadaran dan pengetahuan, semakin sempurna kita mengetahui [besarnya rasa
sayang kita padanya] dan menyadari [bahwa cinta ini tidak akan mendua], maka
semakin kuat pula rasa cinta kita.
Sumber
inspirasi: Ahkamul usroh karya Dr. Ahmad al-Qolisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar