Sabtu, 27 Oktober 2012

Pinta Maafku



Murkamu adalah takutku,
Ketika kau bicara, dan aku bicara,
Dalam gundah dan tawa,

Ku tak acuh dengan semua kata.
Dengan tulus ilmu yang kamu berikan,
Dengan ramai canda kami balaskan,
Senyummu indah menghibur kami,
Tertutup rapat dengan letupan bisikan setan di bibir ini.

Seandainya Kau Milikku



Seandainya kau milikku,
Kan ku jadikan kau belaian dan belahan hatiku,
Yang ingin kulihat tersenyum manis selalu,
Menggurat menghiasi bibir tipismu,

Yang kan ku rindu saat ku jauh,
Terpisah oleh ruang dan waktu,
Yang ingin kulindungi saat kau di sisi,
Dengan semua hasrat diri dan rasa berani.

Kontemplasi Hati


Seiring dengan berjalannya waktu, baik terasa ataupun tidak, usia kita berkurang. Dengan berkurangnya jatah usia kita, berkurang pula ketajaman panca indera kita. Penglihatan, pendengaran, gerak reflek secara sensitif dan motorik. Berbeda dengan saat kita masih muda dan lugu. Layaknya bayi yang tidak berdosa seperti itulah diri kita. Belajar berbicara, berjalan, memahami ini, meniru itu. Hati tak ubahnya seputih kapas. Mulai merangkai persahabatan, mulai pula menuai pengalaman dan pelajaran. Kemurnian hati dan ketulusan budi perlahan namun pasti bergerak memudar dan menguap berubah.


Noda hitam sedikit demi sedikit membasahi tingkah laku kita. Berharap untuk dewasa memang tak semudah dengan apa yang kita duga. Sekalipun kesadaran selalu berkata tidak. Meskipun nurani sudah jelas-jelas menolak. Masih saja tubuh melalukan apa yang ada dipikiran. Sesuatu yang salah dan tak pantas. Benar-benar distimulasi nafsu dan godaan.

Tentu saat gelap akan berubah menjadi pagi yang hangat dengan cahaya surya. Tentu saat yang dingin dan sendiri akan menghilang dengan lembutnya embun dan sejuknya sepoi pagi. Tak akan lama. Sekalipun sebenarnya memang telah lama terpuruk. Dan selalu ada kata berubah. Untuk menjadi lebih baik dan terbaik. Takkan pernah ada kata terlambat dan pasti ada kesempatan kedua dst. Dalam kamus seorang yang tak pernah mudah menyerah patah arang dan meletupkan kobaran semangat.

Mari kita renungi jalan hidup kita. Dari hal yang paling kecil, sepele, dan ringan. Dimulai dari diri sendiri, berpikirlah apa yang telah kita perbuat pada orang lain. Sahabat, Guru dan Orangtua. Mari kita coba sandingkan dengan titik termurni dalam diri kita. Bandingkan dengan pemahaman agama kita. Secara jujur dan ikhlas. Apakah telah tertata dengan baik hidup ini? Apakah sudah sedemikian buruk kita melangkah? Apakah ini hakikat kehidupan yang kita inginkan?

L.D.R. (Long Distance Relationship)

Sebuah Puisi 
Oleh Ismail Sunni Muhammad



Aku telpon dia sore itu,
Dia balas dengan sajak kata, lembut menghibur,
Aku sms dia di sunyi malamku,
Dia hangatkan dengan doa dalam sujud tahajudnya.


Kuketik status rindu di Fb.ku,
Ia jawab dengan seribu suka tanda cinta,
Ku tulis puisi kasih di catatanku,
Ia balas dengan puisi cinta di catatannya.

Durhaka

Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad



Durhaka,
Apakah ia adalah membangkang menentang?
Memaki, menolak, menyumpah,
Menyakiti, menusuk dan mendengki?



Ataukah ia,
Menurut, berkata ya yang sebenarnya tidak,
Mengangguk, yang sebenarnya menggeleng,
Menerima, dengan perasaan menolak,
Tersenyum di wajah, menangis di hati?

Tangga Cinta

Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad



Suratmu kutunggu di lantai bawah,
Ku tahu kau tersenyum malu di balik cadarmu,
Memang itu yang kumau,
Bahagiamu di setiap harimu.





















Kulihat kau asyik dalam canda dengan sahabatmu,
Kutatap kau begitu menikmati jalannya diskusi,
Kuperhatikan kau bertanya hormat pada dosenmu,
Di balik jendela, sungguh, tanpa kau sadari dan kau rasa.

Pertanyaan dan Pernyataan Hati

Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad


Masih saja hati bertanya,
“Untuk apa aku hidup?”
Padahal ia sudah tahu jawabnya.


Masih saja hati berkata,
“Aku tidak mencintainya”
Padahal ia sadar tak bisa hidup tanpanya.