Senin, 05 Oktober 2015

Proyeksi Kuliah #tiga

Bismillahirrahmanirrahim
         
          
         Sebuah kisah singkat saya dapati saat saya membuka facebook. Adalah tentang seorang yang telah terlanjur tua. Saat muda, dia berharap mengubah dunia. Menyadari sulit, ia berubah pikiran namun masih dengan semangat yang sama. Ia ingin mengubah negaranya saja. Dari sekian juta orang, ia semakin matematis mengukur kemampuan dirinya. 
            Tumbuh rambut putih di kepalanya, ia berinisiatif untuk hanya mengubah kotanya saja. Malang, tubuhnya pun tak kuasa memenuhi target yang begitu rapat dan ketat. Usianya semakin tua, dan baru dia tersadar. Mengapa ia tak mengubah dirinya sendiri terlebih dahulu??
            Pertanyaan di atas kerapkali dilontarkan seorang motivator, khususnya dalam acara seminar mengenai kepemimpinan atau pembentukan kepribadian. Namun, anda beruntung membaca naskah singkat ini, karena saya akan membedahnya disini.

Proyeksi Kuliah #Dua

Bismillahirrahmanirrahim


          Pendidikan buat saya adalah suatu keniscayaan. Sebuah urgensi yang tak terelakkan. Entah, sudah berapa analisa dan penelitian yang lahir dan tercatat. Semuanya bisa terwujud dengan pendidikan. Secara tegas, saya berbicara pada hati saya, “pendidikan adalah harga mati”. 
          Pendidikan adalah awal hidup seorang manusia. Bayi yang belajar menatap dunia dengan sentuhan orang tua. Ia meniti langkah demi langkah. Sesaat hanya tertidur, lalu merangkak, mencoba berdiri. Sesekali menggandeng tangan bundanya manja. Sesekali menangis terjatuh, sesekali merengek membutuhkan perhatian dan pendampingan. Hingga akhirnya ia bisa berlari.
           Berlari dari masa lima tahunnya hingga meremaja. Sedemikian cepatnya hingga ia berusaha untuk melangkah dengan perlahan namun dewasa. Itulah deskripsi singkat awal pendidikan merambat memeluk kehidupan manusia.

Proyeksi Kuliah #Satu


Bismillahirrahmanirrahim


            Masa muda adalah masa yang sungguh berharga. Masa dimana keadaan fisik masih prima. Masa yang diibaratkan oleh penyanyi dangdut kondang, “H. Rhoma Irama” sebagai masa yang berapi-api. Mengapa harus api? Dari pertanyaan singkat inilah, semua isi naskah sederhana ini mengalir.
            Api selalu diibaratkan dengan warna merah. Merah lekat merujuk dengan darah. Darah merepresentasikan makna pengorbanan. Pengorbanan semata ada dengan adanya kepercayaan dan keberanian. Tidak bisa hanya salah satunya.
            Kepercayaan tanpa keberanian akan selalu dicap pengecut. Kepercayaan yang pasif. Tumpul dengan nalar kritis untuk mengurai setiap persepsi yang salah. Seakan rumah dengan tiang pondasi yang hilang. Lumpuh dan rapuh. 

Senin, 01 September 2014

Akankah?

Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad


Sensualitas bibir yang melumat senyum jujur,
sosialisasi manis yang mendebur hampa dinding optimis
apresiasi palsu yang menggumpal menggunung,
menghitamlegamkan angan, menyusutkan garis harapan.

Tajuk dusta, fitur utama dalam ibadah,
renovasi hati dari riak riya' sudah terlanjur tak terpisah,
kombinasi dengki dan murka membutakan mata akan saudara,
bermitra dengan dunia, buat akhirat perlahan memudar fana.

Keluh Hamba

Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad


Masih kucoba membawa bebanmu dalam rapuh hati,
terpaan angin busuk, begitu dingin menusuk,
tak ramah, lepuhkan kesabaran yang meranggas tak berbekas.

Masih tabah ku terima semua luka yang menganga,
dari awal bertemu hingga kali kita berpisah,
tak acuh ribuan mata terpasang memasung,
cinta ini terlanjur hancur melebur mematung.

ku lelah dengan tiap tetes duka rindu,
bertambah tua sudah rasa payah yang membiru.

Bisik Hati

Sebuah Puisi 
oleh Ismail Sunni Muhammad


Bawalah ruh ini, menggembala pada sabana medina di lain sisi dunia,
Kukuhkan kaki ini, yang meronta kasar menyalak pada tuannya,
Tunjukkanlah, hal yang baik, serpih hati yang mulia,
akan berpijar hangat dalam buncah cahaya.
Indah dalam ombak dzikir yang bertabuh mesra.

Beritahukan, ia tidak duduk dan bercengkrama sendiri.
Kabarkan, ia tak pula bernafas gratis, bila tak menatap jalang alam semesta membentang.
Yakinkan, apa yang ia rasa tak pernah salah, sekalipun dua kali terkadang benar sedikit memaksa.

Kerana, ketika hamba-Nya yang lain, mampu memicingkan mata kalbunya,
Melenyapkan tiap cinta busuk, karya setan dan iblis durhaka,
Menekan habis syahwat diri sendiri, demi membelalakkan tangan membantu sesama.
Menyelamatkan waktu yang tergigit pasrah dengan tiap detik dzalim durjana,
Menutup bathin, dari selain-Nya, hanya untuk lebih ma’rifat pada-Nya,

Engkau, Rabbku

Sebuah Puisi
Oleh Ismail Sunni Muhammad


Saat bibir ini tak mampu lagi mengucap kata,
Tentang betapa perih luka yang terlanjur busuk menganga,
Engkaulah, penyembuh kalbu yang kunanti senantiasa.

Saat semua yang mata mampu lihat,
Adalah kenangan dosa yang sinis mencerca,
Engkaulah, Pembawa cahaya yang memelukku ramah.

Saat mereka yang mengaku cinta,
Tak acuh, menatap hampa, meninggalkanku merana,
Kau masih setia, bersabar mendengar curhatku di malam sepertiga.