Kamis, 13 Juni 2013

Cermin ~

Sebuah Puisi


Bukankah kau seseorang yang layak kukagumi,
Karena cahayamu yang membias dalam cermin itu,
Aku tak sanggup tak perhatikanmu,
Karena kau benar-benar refleksi hati.
Jika sepi adalah rasa yang membunuh diri,
Dan pantulan kasih hanyalah membelahku dalam sendu,
Cukup kau tahu, jika aku selalu terhubung denganmu,
Melalui sisi lain, melalui cakrawala yang beda

Kerana dengan tanganmu memeluk tanganku,
Dengan secarik saku, penuh dengan ruh rindu,
Aku dapat berkata,
tiada tempat ku pergi dan menangis selain padamu saja,
Letakkan tanganmu pada kaca, kucoba untuk menarikmu melewatinya,
Kaca cinta yang telah lama retak,
Yang buatmu semakin tegar tak terdesak.

Kerana aku tidak ingin kehilanganmu saat ini,
Saat ku mulai menemukan dalam intaianku, separuh diriku yang lain pada dirimu,
Ruang kosong dalam hatiku menggumam dalam ratap kacau tak jelas,
Adalah kau, udara yang menghilang dan bernafas,
Menunjukkanku bagaimana tumbuh dan mengarung liar,
Kan kukatakan padamu, itu mudah seringan membelai angsa,
Tersungkur kembali padamu sekali, dimana aku takkan bisa mengerti.

Kau memang benar, segala setiamu yang menduakanku,
Seperti dirimu menatapku dalam cermin hati yang beda,
Dua namun sama, dua yang berarti satu,
Cermin merah yang menatapku curiga,
Aku tak berdaya untuk menjadi atau bertasbih lebih tinggi,
Dengan seorang lain melainkanmu di sisi,
Rupa jelas membunar dalam pendar emosi janji,
Bahwa adalah suka, tidak berarti cinta,
Bahwa tak selalu emosi, membawa rugi,
Bahwa bukan rindu, bila benci menggebu,
Namun kita adalah cermin hati, dua yang memisah,
Bukan terbelah karena kasih takkan melemah,
Kerana aku melihatmu adalah aku,
Saat sunyi mengacuhkanku dalam tuli

Bukankah kau bidadari yang menggertak lembut,
Kerana halus tak selalu sama dengan tak kasar,
Dan aku masih tak sanggup berkata,
Selain menidurkan hati dengan pedulimu samar dalam mata,
Berubah, takkan pernah berlaku, bila kau yang menipuku lebih dahulu,
Kau refleksiku, cerminku yang hilang dalam ilusi kota,
Jika lalu kudapat, niscaya ku redam semua detak tatapan jiwa.

Jari jemari menusuk mengoyak mengobarkan rindu dada,
Kau cabut seluruh jiwa, rautmu santun tak berdosa,
Hingga kau bertutur pada jiwa, tak ada tempat yang akan menghilang bila bersama,
Neraka dan surga, tak ada beda,
Rasakanlah diriku, dengan sentuhan halus pada kaca yang telah layu,
Mengagumimu dari sisi dunia, mencoba memelukmu, impian yang takkan menjadi fakta,
Kau, dengan diam, Kau, dengan abai, Kau dengan risau.

Aku masih berharap, tidak kehilangan kau, setidaknya saat ini, kala semua telah pergi,
Masih tertegun, dalam renung, menangis dengan setengah hatiku yang rabun,
Kosong,
Menemaniku duduk, membentengi dari selimut ego yang sesekali berkecamuk,
Adalah itu hatiku yang kau raba dan bawa,
Yang menunjukkanku bagaimana berjuang sebenarnya,
Ku katakan padamu, itu mudah, kasih,, selama ku menyadari kau di sisi,
Selama kau berkenan menungguku di sini,
Sebagai cerminku. Sebagai tempat penantianku.

Hari yang lalu telah tertiup angin dari celah-celah bambu,
Hari esok, menalarlogika semua misteri nyata,
Dari balik kabut cemburu, aku melihatmu masih melihatku,
Dari rimba belantara, kau adalah inspirasi puisi yang kucipta,
Melegalitasi wajahmu yang bertanggungjawab atas komplikasi kasihku,
Menyesakkan, bingung menentukan arah,
Meradang, wajahmu bercahaya layak purnama,
Deklarasikan merdeka atas diriku di masa muda,
Hingga begitu berat mengucap duka,
Hingga begitu berat melepas luka,
Hingga menunggu satu-satunya hal yang berharga,
Menjemputmu atau menunggumu di rumah dengan setangkai mawar darah,
Kau cintaku, hidupku, cerminku, yang kutunggu, hapuskan waktu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar