Selasa, 04 Juni 2013

Putik cahaya dalam tetes hujan

Sebuah Puisi [22]


Aku kembali menyerah dan mengalah,
Hatiku tersakiti, jatuh tak berdaya,
Kamu datang, menyusuri lorong pekat menemukanku teronggok berlumur desperasi,
Menghangatkanku dalam dekapanmu yang mencium dingin hatiku, kembali bermuat asa.

Kedua tanganku menggelayut dengan kuat nan erat,
Namun lututku bergetar, lemah tak dapat menyusulmu,
Tak sanggup menemanimu, dalam bingkai pesonamu,
Tanpa harus tertatih dengan lelah yang menjerit mengikuti jejakmu.

Tertipu, dan aku melihat sisi aneh tersembunyi dalam bilik wajahmu,
Yang takkan pernah kuketahui dan tak akan bisa kupahami mengapa,
Semua tetes kata yang terucap,
Hanya ucap dusta berbalas durka teruntai senyum nista menggoda,
Taktik busuk yang kau mainkan dengan cinta ternoda fitnah,
Kau perankan dengan keluguan yang mengikis rasa percaya.

Namun ku masih mencoba memetik putik cahaya dari tetes rimbun hujan yang melambai,
Membiarkannya membasahi wajahku dengan menyentuhmu walau ku tersiksa,
Tersakiti, perih,
Dan dekapmu tak lagi hangat, malah menyala membakar,
Menguapkan tiap bulir tangis yang menetes terisak,
Menjerit menangis meraung membanting bumi dengan menyalahkan kamu, namamu.

Kulitmu membiru membelaiku dengan angkuh,
Aku bisa terus terjaga dan bertahan,
Ku rapatkan mataku dengan secercah doa,
Merasa kau menjaga, bukan terjaga olehku,
Selamanya,
Kau dan aku bersama,
Nina bobok sendu, aku menggumam, lebih baik kubur aku seperti ini.

Terkadang, aku terbangun, liar, menembus hutan penasaranku,
Menggebrak tiap pintu dosa yang menutup gelap menuju arahmu,
Hatiku yang telah kau pikat ini terus mendesak dan melesak,
Menunggu dalam sesal, menjemput tak sabar,
Bahkan ketika kata tak lagi ada, tertutup dengan tara,
Aku meringkuk dalam pualam emosi, terbujur kaku dalam ego yang menyanyi sunyi lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar