Jumat, 14 Juni 2013

Calon istri, mengapa harus shalihah?

~ Catatan Harian


Seburuk apapun kelakuan seorang lelaki, pasti memiliki keinginan, sekalipun kecil, untuk meminang seorang wanita shalihah. Karena sudah menjadi tabiat manusia, menyukai keindahan dan kebaikan. “wa innahu lihubbil khoiri lasyadid”. Entah bertujuan memperbaiki keturunan atau memperturutkan nafsu belaka. Dan terserah pula bagaimana anda mendefinisikan kebaikan dan keindahan, apakah itu berkonotosi negatif atau positif?

Pasti kita sering mendengar ucapan seorang dai, “alkhobisaat lil khobitsin, - watthoyyibat lit thoyyibin”. Wanita yang buruk untuk lelaki yang buruk, wanita yang baik untuk lelaki yang baik. Dari sini, kita sudah bisa menelisik bahwa hukum Karma juga tersisip dalam Qur’an. Setiap apa yang kita lakukan, kebaikan atau kejahatan, sekecil apapun, pasti akan mendapatkan balasannya. “wa man ya’mal mitsqola dzarratin khoiron yaroh, wa man ya’mal mistqolah dzarrotin syarron yarah”. Dan tulang rusuk kita yang hilang pastinya berwatak tidak jauh dari bagaimana kita bersikap dan bergaul, ia melengkapi dan menghiasi.

Karena kelak istri akan menjadi rumah bagi sang suami, ladang pahala baginya, pendamping hidup, pengasuh keluarga, dan ibu bagi anak-anaknya. Tentu setiap orang hidup dengan background, prinsip dan kebiasaan hidup yang berbeda, hingga berbeda pula selera dan tujuan dalam memilih belahan hati mereka.

Mengapa sih harus wanita shalihah?
Shalihah berasal dari rumpun kata shalih, shalaha, yang berarti patut, serasi, baik, dan kompeten. Shalihah bisa dikatakan mutadayyanah, memiliki agama dan akhlak yang baik. Karena agama ada, lebih dari sekedar filosofi, adalah moral yang melegalisir tiap hak, menjaganya, menyeimbangkan kewajiban, mensinergikan hubungan horizontal [makhluk dengan sesamanya] dan vertikal [makhluk dengan Rabbnya], mengikis nafsu dan segala penyakit hati. Akhlak yang baik akan menyuburkan rasa kasih dan cinta yang membantu menguatkan keharmonisan keluarga.

Apakah kecantikan paras tidak berpengaruh?
Wah, tentu dong. Karena manusia men-judge sesamanya dari penampilan luar, hanya Allah yang mampu melihat dan mengatur isi hati tiap manusia. Di sini muncul dua persepsi, tampilan luar, murni tampilan luar dan tampilan luar, adalah cermin isi hati. Kita tidak bisa memutuskan begitu saja, selain langsung hidup bersama mereka. As someone ever said, “don’t judge the book by its cover”.

Siapa yang tidak mau memiliki istri yang cantik? Siapa pula yang tidak ingin memiliki suami tampan? Namun, berhati-hatilah, karena mungkin saja kecantikan dan ketampanan menipu kita. Lalu bagaimana dengan yang berharta? Boleh, namun tetap berhati-hati, kasus yang sering terjadi, bila si istri yang lebih kaya, si suami jadi tertindas dan tertekan. Mau melarang ini, menolak itu jadi serba salah. Padahal “ar-Rijaalu qowwamuna ‘alan nisaa”, lelaki tuh pemimpin wanita.

Jalan amannya adalah kembali pada anjuran pertama, wanita shalihah. Bukan berarti agama menafikan faktor kecantikan, harta dan keturunan. Pertama, pilihlah yang beragama baik, bila ia memiliki 3 kelebihan lainnya [kaya, manis dan berketurunan baik] atau salah satu saja, maka itu adalah nilai plusnya dan tidaklah mengapa. Rasulullah SAW menikahi Khadijah ra. yang kaya, Aisyah ra. yang cantik jelita. Baik Khadijah ra. dan Aisyah ra. memiliki akhlak dan keilmuan yang baik.

Selain shalihah, usahakan juga dia cantik. Jangan khawatir kalau kecantikannya akan menipu, bukankah kita sudah mengetahui keshalihannya terlebih dahulu? Dan mengapa harus cantik? Ini akan membantu kita menjaga pandangan kita melihat pada wanita selain istri kita. Jadi setiap kali melihat istri kita, semakin bertambah rasa sayang dan cinta kita padanya.
Salah satu teman saya berkelakar, “Cantiknya seseorang itu relatif sun, tapi kalau jeleknya, rata-rata muttafaq ‘alaih [disepakati bersama]”. Kami tertawa bersama, dan saya menimpalinya, “wah, parah kamu, mas”, sekalipun dalam hati saya mengiyakan pernyataannya juga. Ada benarnya juga kalau dipikir-pikir.

Dengan begini, saya membatasi lagi atau mendefinisikan ulang bagaimanakah seorang wanita shalihah idaman, “Idza nadzaro ilaiha, sarrathu, wa idza ghooba ‘anha hafadzhathu, wa idza amaroha atho’athu”. Bila dilihat, ia menyejukkan mata, jika ditinggal, ia menjaga harta dan keluarga, jika diperintah, ia menurutinya.

Selain shalihah, dan cantik, sepatutnya ia juga wanita yang lembut dan subur. Merujuk kembali pada tujuan utama menikah, di antaranya adalah untuk melanggengkan generasi, bukan? Tentu menimang buah hati akan menambahkan kemesraan dan kedekatan kita nantinya.

Terakhir, akan lebih baik, bila ia masih perawan. Mengapa harus perawan? Karakter perawan cenderung mudah menurut, adaptif pada kelakuan suaminya, dan tidak terlalu memikirkan lawan jenisnya, tentu ia masih lucu dan lugu [entah dengan perawan Indonesia saat ini; apakah masih layak dikatakan lugu?]. Romantisme hubungan akan selalu tumbuh mengakar tiap harinya.

Bukan berarti kita menilai setiap perawan lebih baik dari yang menjanda. Nilai lebih janda, ia sudah sangat berkompeten dalam mengatur rumah tangga [lebih tenang menyikapi masalah, sudah pengalaman bro], dapat lebih mengerti keinginan suaminya [karena insting kewanitaannya lebih terasah], dan masih banyak lagi keistimewaan janda yang bisa membuat anda tersenyum puas dan bangga.

Dan pilihan terakhir, kembali pada diri anda, hati anda tepatnya. Shalihah, dan kriteria di atas akan melebur pudar, bila anda memang sudah benar cinta buta pada seseorang wanita. Urusan hati tidak bisa diganggu gugat. Karena cinta adalah “tsamrotul idrok wal ma’rifah, kullama kaanatil ma’rifah atam, kaanal hub aqwa”. Buah dari kesadaran dan pengetahuan, semakin sempurna kita mengetahui [besarnya rasa sayang kita padanya] dan menyadari [bahwa cinta ini tidak akan mendua], maka semakin kuat pula rasa cinta kita.

Sumber inspirasi: Ahkamul usroh karya Dr. Ahmad al-Qolisi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar